Jam dinding sudah menunjukkan pukul 01:45 dini hari. Kedua mataku belum mampu terpejam.. Entah sudah berapa lama aku berdiri mematung di sini, di bibir jendela. Kubiarkan jendela kamar terbuka. Semilir angin malam membelai lembut wajahku. Kutatap langit, kudapati bulan separuh dengan sebuah bintang yang bercahaya redup sebagai penghias langit malam. Ingatanku melayang ke dimensi waktu itu……….
********************************************************************
Bulan Separuh |
Namanya Arini, seorang arsitek muda dari pulau Jawa. Sama seperti diriku, ia juga perantau yang di tugaskan di kota kecil ini. Sudah hampir tiga tahun kami tinggal bersama di sebuah rumah kontrakan. Pertemuanku dengannya juga tidak sengaja. Bertemu di bandara, dan karena ia tidak memiliki sanak keluarga di kota ini juga belum tahu mau tinggal di mana, makanya kuajak ia tinggal sementara di tempatku. Lambat laun seiring berjalannya waktu, kami pun semakin akrab, layaknya saudara. Ia sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Usianya terpaut 2 tahun dariku. Karenanya kami memutuskan untuk ngontrak bareng saja. Jarak rumah dengan kantorku dan kantornya juga lumayan dekat.
Sendiri Menyepi |
Cemas ini kan kujadikan saksi
Sewaktu tengadah resah pada Ilahi
Meminta agar kau menyisi di sini
Lama sudah hadirmu kuingini
Tangis ini kan kujadikan jalan
Meraihmu dari tangan Tuhan
Hingga segera lepas siksa ini
Sebegitu besarnyakah rasa yang kau miliki untuk ikhwan itu wahai adikku? Sebegitu besarnyakah hasratmu untuk menjadi pendampingnya? Bagaimana jika sekiranya dia bukan pemilik tulang rusuk yang kau bawa? Apakah engkau sudah siap menerima semuanya? Ahhhhh…..tidak….tidak….kenapa aku berfikiran seperti itu? Harusnya aku mendokan semoga memang benar ikhwan itulah pemilik tulang rusuk yang dibawanya. Semoga………..
Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan. Hari yang dijanjikan akan segera tiba. Hari yang dinanti-nantikan oleh adikku tercinta. Hari di mana sang ikhwan akan datang ke rumah tuk mengkhitbahnya. Arini nampak agak gugup. Yah, maklum saja. Seminggu lagi sebuah sejarah indah akan terukir dalam diary hidupnya. Pangeran yang didamba akan segera tiba. Memintanya ke orang tua tuk di bawa serta ke istana miliknya.
Sore itu sepulang kantor, kudapati pintu depan tidak terkunci. Hmmmm…. Tumben si Arini cepat pulang, biasanya kan pulangnya sehabis magrib bahkan setelah isya. Perlahan kubuka pintu rumah kemudian berjalan menuju kamarku. Rasanya sudah sangat gerah, ingin segera mengguyur tubuh ini dengan air. Tiba-tiba langkahku terhenti saat mendengar isak tangis seseorang. Yah….sepertinya aku kenal suara itu. Segera kuputar langkah ke kamarnya. Semakin dekat dengan pintu kamar, suara isak tangis itu semakin jelas terdengar. Perlahan kubuka pintu dan kudapati dia duduk terisak di atas tempat tidur sambil memeluk boneka panda yang kuhadiahkan untuknya setahun lalu. Segera kuhampiri dan bertanya “Ada apa dik?” sambil duduk di sampingnya. Perlahan kubelai rambutnya dan ahhhhh…..lihatlah, matanya begitu sembab. Kepala boneka panda itu juga sudah kuyup. Aku mulai cemas. Ada apa gerangan??? “Ada apa dik? Kenapa kamu menangis?” tanyaku kembali. Isakannya semakin kencang dan ia pun menghambur ke pelukanku. Ia menangis sejadi-jadinya. Kudekap ia seraya membelai lembut rambutnya. Kubisikkan kata “Tenang sayang, jangan takut, kakak ada di sini” aku tak tahu harus berkata apa apa,. Lama kularut dalam diam, dan tetap mendekapnya. Sejuta Tanya mulai berkecamuk dalam hatiku, ada apa denganmu dik?
Perlahan ia menarik diri dari pelukanku, kemudian menatap lemah padaku. Oh Tuhan….sungguh aku tak kuasa menatapnya. Guratan wajah itu….wajah itu seolah sudah memberi jawab atas semua tanya yang memenuhi ruang hatiku.
Ah…tidak…….tidak…..jangan…. jangan ya Allah, aku tak sanggup mendengarnya. Sungguh aku tak sanggup mendengarnya. Pandanganku mulai mengabur, dan sedetik kemudian. “Kakak…….” Katanya lirih. “Dia…….dia…….tidak jadi datang ke rumah” Ya Allah….kekhawatiranku selama ini berubah jadi nyata. Air mata yang sedari tadi kubendung akhirnya tumpah di pipi. Aku tak mampu berkata apa-apa. Kumenangis dalam diam. Ketika semua kata sudah tak mampu lagi terurai dalam ucapan, maka ia pun melebur dalam deraian air mata “Dia memilih tuk menikah dengan akhwat lain kak, pantas saja…….pantas saja sebulan terakhir ini ia sangat sulit dihubungi, alasannya sibuk, banyak kerjaan. Tadi siang ia menelponku, dan bilang ‘Aku tak bisa menikahimu. Minggu depan, aku akan segera menikah dengan teman kuliahku. Percuma menikah jika harus terpisah oleh jarak. Ibu butuh menantu yang bisa selalu ada di dekatnya. Jadi mohon jangan hubungi aku lagi.’ Kakak……jika memang sudah tahu akhirnya akan seperti ini, kenapa ia tega memberi harapan dan janji-janji manis padaku? Apa salahku kak? Kalau masalah jarak, bukankah itu sudah ada solusinya? Aku bisa meminta tuk pindah tugas ke sana. Apa salahku kak?” dan ia pun kembali menangis dan memelukku. “Kamu tidak salah…sama sekali tidak salah. Bukan dia yang tercatat namanya di Lauhul Mahfuz untukmu. Bukan dia pemilik tulang rusuk yang kau bawa. Ikhlas Arini”. “Tapi aku….aku sangat mencintainya kak, kenapa ia tega berbuat seperti ini padaku?” jawabnya masih dalam isak tangis. “Ikhlas dik, bukan dia yang ditakdirkan Allah untukmu. Lapangkan hatimu. Jangan siksa batinmu dengan angan-angan semu seperti ini. Ikhlas dik, lupakan dia”. “Tapi kak, aku sangat mencintainya, sungguh teramat sangat mencintainya” katanya sembari melepas pelukannya padaku. “Arini…..yang kau rasakan ini bukan cinta. Ini bukan cinta dik. Ini hanyalah obsesimu untuk memilikinya. Ini bukan cinta”. “Apa kata kakak??? Kakak bilang ini bukan cinta?? Apa maksud kakak?? Hei….apa kakak tahu apa artinya cinta??? HAH…..apa yang kakak tahu tentang cinta?Kakak tidak pernah tahu apa itu cinta karena kakak tidak pernah jatuh cinta, belum pernah seorang pun mencintai kakak. Kakak tidak mengerti karena kakak belum pernah melakoni. Bicara itu memang muda kak, teori itu memang mudah. Apa kakak tahu bagaimana sakitnya hatiku saat ini? Tidak, kakak tidak tahu…kakak tidak mengerti karena kakak belum pernah merasakan sakit seperti ini” Oh Tuhan….adikku yang berhati lembut ini membentakku, “tolong tinggalkan aku sendiri”, tatapannya berubah jadi agak sinis padaku. Aku pun beranjak pergi dari kamarnyadengan harapan ia bisa berfikir jernih dalam kesendirian. Ohhhh….Tuhan….kenapa……
Ah…tidak…….tidak…..jangan…. jangan ya Allah, aku tak sanggup mendengarnya. Sungguh aku tak sanggup mendengarnya. Pandanganku mulai mengabur, dan sedetik kemudian. “Kakak…….” Katanya lirih. “Dia…….dia…….tidak jadi datang ke rumah” Ya Allah….kekhawatiranku selama ini berubah jadi nyata. Air mata yang sedari tadi kubendung akhirnya tumpah di pipi. Aku tak mampu berkata apa-apa. Kumenangis dalam diam. Ketika semua kata sudah tak mampu lagi terurai dalam ucapan, maka ia pun melebur dalam deraian air mata “Dia memilih tuk menikah dengan akhwat lain kak, pantas saja…….pantas saja sebulan terakhir ini ia sangat sulit dihubungi, alasannya sibuk, banyak kerjaan. Tadi siang ia menelponku, dan bilang ‘Aku tak bisa menikahimu. Minggu depan, aku akan segera menikah dengan teman kuliahku. Percuma menikah jika harus terpisah oleh jarak. Ibu butuh menantu yang bisa selalu ada di dekatnya. Jadi mohon jangan hubungi aku lagi.’ Kakak……jika memang sudah tahu akhirnya akan seperti ini, kenapa ia tega memberi harapan dan janji-janji manis padaku? Apa salahku kak? Kalau masalah jarak, bukankah itu sudah ada solusinya? Aku bisa meminta tuk pindah tugas ke sana. Apa salahku kak?” dan ia pun kembali menangis dan memelukku. “Kamu tidak salah…sama sekali tidak salah. Bukan dia yang tercatat namanya di Lauhul Mahfuz untukmu. Bukan dia pemilik tulang rusuk yang kau bawa. Ikhlas Arini”. “Tapi aku….aku sangat mencintainya kak, kenapa ia tega berbuat seperti ini padaku?” jawabnya masih dalam isak tangis. “Ikhlas dik, bukan dia yang ditakdirkan Allah untukmu. Lapangkan hatimu. Jangan siksa batinmu dengan angan-angan semu seperti ini. Ikhlas dik, lupakan dia”. “Tapi kak, aku sangat mencintainya, sungguh teramat sangat mencintainya” katanya sembari melepas pelukannya padaku. “Arini…..yang kau rasakan ini bukan cinta. Ini bukan cinta dik. Ini hanyalah obsesimu untuk memilikinya. Ini bukan cinta”. “Apa kata kakak??? Kakak bilang ini bukan cinta?? Apa maksud kakak?? Hei….apa kakak tahu apa artinya cinta??? HAH…..apa yang kakak tahu tentang cinta?Kakak tidak pernah tahu apa itu cinta karena kakak tidak pernah jatuh cinta, belum pernah seorang pun mencintai kakak. Kakak tidak mengerti karena kakak belum pernah melakoni. Bicara itu memang muda kak, teori itu memang mudah. Apa kakak tahu bagaimana sakitnya hatiku saat ini? Tidak, kakak tidak tahu…kakak tidak mengerti karena kakak belum pernah merasakan sakit seperti ini” Oh Tuhan….adikku yang berhati lembut ini membentakku, “tolong tinggalkan aku sendiri”, tatapannya berubah jadi agak sinis padaku. Aku pun beranjak pergi dari kamarnyadengan harapan ia bisa berfikir jernih dalam kesendirian. Ohhhh….Tuhan….kenapa……
Adzan subuh sudah berkumandang di mesjid. Perlahan aku bangkit dari pembaringan dan segera ambil air wudhu. Rasanya sangat lelah. Semalam hanya bisa tidur sejam. Aku sangat khawatir pada adikku Arini. Ia mengunci diri semalaman di kamar. Tidak makan malam pula. Selesai shalat, kulangkahkan kakiku ke kamarnya. Perlahan kuketuk pintunya, “Rin, sudah shalat subuh dik?”. Tak ada jawaban. Kuketuk lagi. Tak ada jawaban. Ahh…mungkin ia masih ingin sendiri dulu.
Pagi-pagi seperti biasa, sarapan sudah kusiapkan di atas meja. Kutengok pintu kamarnya, masih tertutup. Aku pun beranjak ke kamar, ingin mengambil tas kantor. Kudengar pintu kamarnya dibuka. Arini keluar dengan menarik travel bag dan menggendong ransel miliknya. “Mau ke mana dik?” tanyaku penasaran. “Arin mau pulang kak. Untuk sementara, Arin mau cuti dulu. Arin sudah menghubungi teman di kantor tuk ngurus surat cuti. Maaf atas kata-kataku kemarin yah kak. Terima kasih atas kebaikan kakak selama ini. Arin lelah, Arin ingin istirahat dulu kak. Dan sepertinya kampung halaman adalah tempat yang paling tepat buat Arin istirahat” katanya sambil tersenyum. Senyum itu…sangat jauh berbeda dengan senyum-senyumnya selama ini. Ahhhh….Arin. “Arin pamit dulu yah kak, jaga diri kakak baik-baik” katanya seraya memelukku. “Ia dik, jaga dirimu baik-baik yah. Salam buat bapak sama ibu di rumah”. “Iya kak, Arin pamit dulu. Assalamu’alaikum”.”Waalaikum salam warahmatullah, hati-hati dik”
Kini sudah hampir setahun ia pergi. Belakangan baru kutahu ternyata ia mengundurkan diri dari tempat kerjanya. Ahhhh…..adikku, sebegitu dalam kah luka hatimu hingga kau sulit untuk bangkit kembali?
Tolong ajari aku mengendalikan rindu
Yang meliar bagai perdu di padang hatiku
Cinta lama yang bertahun-tahun kutebas
Sepertinya selalu menolak meranggas
Akarnya yang keras menghujam terlalu dalam
Menembus dunia kelam tempat hasratku bersemayam
Tolong ajari aku menterjemahkan pahit
Yang perih menggigit tiap mataku menatap langit
Ke mana saja kupalingkan kepala
Ia selalu ada
Menyungkup semesta
Kucintai birunya dengan cinta paling purba
Kudamba jingga senjanya dengan rindu tanpa jeda
Sementara jarak tetap saja membentang panjang
Menggerus tahun-tahun lengang
Tolong ajari aku berhenti bermimpi
…kini
Sebab padang hatiku terlalu sunyi
Untuk kutinggali sendiri
Jemu menjamu sejoli pembunuh rindu
-jarak dan waktu-
Berharap mereka segera menerkamku
Dan mengakhiri kesia-siaan ini.
Masih terngiang di telingaku semua ucapanmu malam itu. Kamu salah dik. Sungguh….kamu salah jika berfikir aku hanya bisa berteori saja. Tak tahu apa arti mencintai. Adikku, sesungguhnya memberi itu jauh lebih indah dibandingkan menerima. Kepahitan yang engkau alami sekilas yang tampak adalah kepahitan dan kegetiran semata, tapi bila engkau melihatnya dari sudut pandang berbeda, engkau akan temukan butiran-butiran hikmah di balik itu semua. Kita bisa menukar banyak hal menyakitkan yang dilakukan orang lain dengan sesuatu yang lebih hakiki, lebih abadi. Rasa sakit yang timbul karena perbuatan aniaya dan menyakitkan itu sementara. Pemahaman dan penerimaan tulus dari kejadian menyakitkan itulah yang abadi.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 01:45 dini hari. Kutatap langit, kudapati bulan separuh dengan sebuah bintang yang bercahaya redup sebagai penghias langit malam ini…sayup-sayup kudengar alaunan merdu dari laptopku “Wahai… Pemilik nyawaku betapa lemah diriku ini, berat ujian dariMu kupasrahkan semua padaMu…. Tuhan… Baru ku sadar indah nikmat sehat itu, tak pandai aku bersyukur, kini kuharapkan cintaMu…..Kata-kata cinta terucap indah mengalun berzikir di kidung doaku, sakit yang kurasa biar jadi penawar dosaku…… Butir-butir cinta air mataku, teringat semua yang Kau beri untukku, ampuni khilaf dan salah selama ini Ya ilahi….Muhasabah cintaku…Tuhan… Kuatkan aku , lindungiku dari putus asa, jika ku harus mati, pertemukan aku denganMu”
Ahhhhh…..luka lama itu kembali menganga……….aku lelah………
Ranah Minang, 21 Maret 2010
Indri
NB: Ini cerpen pertama yang kutulis, so harap maklum saja kalau ceritanya maupun cara penulisannya kurang menarik hehehheee.... :p sebelumnya sudah pernah kuposting ke Kompasiana
NB: Ini cerpen pertama yang kutulis, so harap maklum saja kalau ceritanya maupun cara penulisannya kurang menarik hehehheee.... :p sebelumnya sudah pernah kuposting ke Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar