"Hanya dengan berbagi hidup akan terasa lebih berarti"

“Wahai manusia, janganlah sekali-kali merasa kesepian diatas jalan kebenaran hanya disebabkan sedikitnya orang yang berada disana. Sesungguhnya kebanyakan manusia telah berkumpul menghadapi hidangan yang hanya sebentar saja kenyangnya namun lama sekali laparnya" (Ali Bin Abi Thalib)

Rabu, 06 April 2011

Bulan Separuh

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 01:45 dini hari. Kedua mataku belum mampu terpejam.. Entah sudah berapa lama aku berdiri mematung di sini, di bibir jendela. Kubiarkan jendela kamar terbuka. Semilir angin malam membelai lembut wajahku. Kutatap langit, kudapati bulan separuh dengan sebuah bintang yang bercahaya redup sebagai penghias langit malam. Ingatanku melayang ke dimensi waktu itu……….

********************************************************************

Bulan Separuh
“Kak Iiiiiiiiinnnnnnn……” teriak gadis dari kamar sebelah, tak lama kemudian kudengar derap langkah kaki yang teruru-buru menuju kamarku. Pintu kamarku pun terbuka. “Kak In, coba tebak apa yang barusan terjadi?” seru gadis berambut sebahu itu. Senyum yang tersungging dibibirnya menyiratkan kalau ia sangat bahagia. “Ada apa sih dik? Malam-malam kok teriak-teriak begini sih? Ntar tetangga pada kaget lho” jawabku seraya melipat mukenah yang baru saja kupakai shalat Isya. “Hehehheheeee…….coba tebak dulu kak?  Masalah tetangga tenang aja, dijamin ga bakalan ada yang komplen, soalnya mereka sudah pada mudik tadi sore heheheeee….” Jawabnya sambil cengengesan. “Hmmmm….tante Mirna mau ngirim Itiak Lado Ijo, kamu kan paling doyan sama makanan yang satu itu hehehhee….” jawabku asal. “Yahhhhh…. Kalo itu mah biasa kak, coba tebak lagi” katanya sambil duduk memeluk bantal di atas tempat tidurku. “Hmmmmmm….apa yah???” jawabku sok mikir, “aha…..desain rumah diterima” kataku sambil menjentikkan jari. “Yah……bukan, kalo itu mah biasa juga kak, adikmu ini kan cerdas hihihiiiiiiiiii……..ayo tebak lagi” katanya dengan wajah penuh harap. “Kakak nyerah deh, apaan sih, koq girang amat?. ” Hehehheheee……aku….aku……dilamar kak” jawabnya dengan wajah bersemu merah. “Wahhhhh…..subhanallah, Alhamdulillah. Selamat yah sayang” kataku seraya memeluknya. “Iya kak, akhirnya ia bilang mau ke rumah tuk bertemu orang tuaku”. “Kapan dia mau ke rumah?” tanyaku. “Insya Allah dua bulan lagi, soalnya masih ada urusan yang harus ia selesaikan dulu. Kakak…..Arin seneng banget. Akhirnya penantianku akan segera berakhir kak.” Katanya sambil terisak didekapanku. “Iya dik, Alhamdulillah…kakak juga sangat bahagia mendengar kabar ini, sekali lagi selamat yah sayang”
Namanya Arini, seorang arsitek muda dari pulau Jawa. Sama seperti diriku, ia juga perantau yang di tugaskan di kota kecil ini. Sudah hampir tiga tahun kami tinggal bersama di sebuah rumah kontrakan. Pertemuanku dengannya juga tidak sengaja. Bertemu di bandara, dan karena ia tidak memiliki sanak keluarga di kota ini juga belum tahu mau tinggal di mana, makanya kuajak ia tinggal sementara di tempatku. Lambat laun seiring berjalannya waktu, kami pun semakin akrab, layaknya saudara. Ia sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Usianya terpaut 2 tahun dariku. Karenanya kami memutuskan untuk ngontrak bareng saja. Jarak rumah dengan kantorku dan kantornya juga lumayan dekat.

Sendiri Menyepi

Cemas ini kan kujadikan saksi
Sewaktu tengadah resah pada Ilahi
Meminta agar kau menyisi di sini
Lama sudah hadirmu kuingini
Tangis ini kan kujadikan jalan
Meraihmu dari tangan Tuhan
Hingga segera lepas siksa ini
Yang mendera dan menerali
(Bulan Tak Purnama)


Sebegitu besarnyakah rasa yang kau miliki untuk ikhwan itu wahai adikku? Sebegitu besarnyakah hasratmu untuk menjadi pendampingnya? Bagaimana jika sekiranya dia bukan pemilik tulang rusuk yang kau bawa? Apakah engkau sudah siap menerima semuanya? Ahhhhh…..tidak….tidak….kenapa aku berfikiran seperti itu? Harusnya aku mendokan semoga memang benar ikhwan itulah pemilik tulang rusuk yang dibawanya. Semoga………..
Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan. Hari yang dijanjikan akan segera tiba. Hari yang dinanti-nantikan oleh adikku tercinta. Hari di mana sang ikhwan akan datang ke rumah tuk mengkhitbahnya. Arini nampak agak gugup. Yah, maklum saja. Seminggu lagi sebuah sejarah indah akan terukir dalam diary hidupnya. Pangeran yang didamba akan segera tiba. Memintanya ke orang tua tuk di bawa serta ke istana miliknya.
Sore itu sepulang kantor, kudapati pintu depan tidak terkunci. Hmmmm…. Tumben si Arini cepat pulang, biasanya kan pulangnya sehabis magrib bahkan setelah isya. Perlahan kubuka pintu rumah kemudian berjalan menuju kamarku. Rasanya sudah sangat gerah, ingin segera mengguyur tubuh ini dengan air. Tiba-tiba langkahku terhenti saat mendengar isak tangis seseorang. Yah….sepertinya aku kenal suara itu. Segera kuputar langkah ke kamarnya. Semakin dekat dengan pintu kamar, suara isak tangis itu semakin jelas terdengar. Perlahan kubuka pintu dan kudapati dia duduk terisak di atas tempat tidur sambil memeluk boneka panda yang kuhadiahkan untuknya setahun lalu. Segera kuhampiri dan bertanya “Ada apa dik?” sambil duduk di sampingnya. Perlahan kubelai rambutnya dan ahhhhh…..lihatlah, matanya begitu sembab. Kepala boneka panda itu juga sudah kuyup. Aku mulai cemas. Ada apa gerangan??? “Ada apa dik? Kenapa kamu menangis?” tanyaku kembali. Isakannya semakin kencang dan ia pun menghambur ke pelukanku. Ia menangis sejadi-jadinya. Kudekap ia seraya membelai lembut rambutnya. Kubisikkan kata “Tenang sayang, jangan takut, kakak ada di sini” aku tak tahu harus berkata apa apa,. Lama kularut dalam diam, dan tetap mendekapnya. Sejuta Tanya mulai berkecamuk dalam hatiku, ada apa denganmu dik?
Perlahan ia menarik diri dari pelukanku, kemudian menatap lemah padaku. Oh Tuhan….sungguh aku tak kuasa menatapnya. Guratan wajah itu….wajah itu seolah sudah memberi jawab atas semua tanya yang memenuhi ruang hatiku. 

Ah…tidak…….tidak…..jangan…. jangan ya Allah, aku tak sanggup mendengarnya. Sungguh aku tak sanggup mendengarnya. Pandanganku mulai mengabur, dan sedetik kemudian. “Kakak…….” Katanya lirih. “Dia…….dia…….tidak jadi datang ke rumah” Ya Allah….kekhawatiranku selama ini berubah jadi nyata. Air mata yang sedari tadi kubendung akhirnya tumpah di pipi. Aku tak mampu berkata apa-apa. Kumenangis dalam diam. Ketika semua kata sudah tak mampu lagi terurai dalam ucapan, maka ia pun melebur dalam deraian air mata “Dia memilih tuk menikah dengan akhwat lain kak, pantas saja…….pantas saja sebulan terakhir ini ia sangat sulit dihubungi, alasannya sibuk, banyak kerjaan. Tadi siang ia menelponku, dan bilang ‘Aku tak bisa menikahimu. Minggu depan, aku akan segera menikah dengan teman kuliahku. Percuma menikah jika harus terpisah oleh jarak. Ibu butuh menantu yang bisa selalu ada di dekatnya. Jadi mohon jangan hubungi aku lagi.’ Kakak……jika memang sudah tahu akhirnya akan seperti ini, kenapa ia tega memberi harapan dan janji-janji manis padaku? Apa salahku kak? Kalau masalah jarak, bukankah itu sudah ada solusinya? Aku bisa meminta tuk pindah tugas ke sana. Apa salahku kak?” dan ia pun kembali menangis dan memelukku. “Kamu tidak salah…sama sekali tidak salah. Bukan dia yang tercatat namanya di Lauhul Mahfuz untukmu. Bukan dia pemilik tulang rusuk yang kau bawa. Ikhlas Arini”. “Tapi aku….aku sangat mencintainya kak, kenapa ia tega berbuat seperti ini padaku?” jawabnya masih dalam isak tangis. “Ikhlas dik, bukan dia yang ditakdirkan Allah untukmu. Lapangkan hatimu. Jangan siksa batinmu dengan angan-angan semu seperti ini. Ikhlas dik, lupakan dia”. “Tapi kak, aku sangat mencintainya, sungguh teramat sangat mencintainya” katanya sembari melepas pelukannya padaku. “Arini…..yang kau rasakan ini bukan cinta. Ini bukan cinta dik. Ini hanyalah obsesimu untuk memilikinya. Ini bukan cinta”. “Apa kata kakak??? Kakak bilang ini bukan cinta?? Apa maksud kakak?? Hei….apa kakak tahu apa artinya cinta??? HAH…..apa yang kakak tahu tentang cinta?Kakak tidak pernah tahu apa itu cinta karena kakak tidak pernah jatuh cinta, belum pernah seorang pun mencintai kakak. Kakak tidak mengerti karena kakak belum pernah melakoni. Bicara itu memang muda kak, teori itu memang mudah. Apa kakak tahu bagaimana sakitnya hatiku saat ini? Tidak, kakak tidak tahu…kakak tidak mengerti karena kakak belum pernah merasakan sakit seperti ini” Oh Tuhan….adikku yang berhati lembut ini membentakku, “tolong tinggalkan aku sendiri”, tatapannya berubah jadi agak sinis padaku. Aku pun beranjak pergi dari kamarnyadengan harapan ia bisa berfikir jernih dalam kesendirian. Ohhhh….Tuhan….kenapa……
Adzan subuh sudah berkumandang di mesjid. Perlahan aku bangkit dari pembaringan dan segera ambil air wudhu. Rasanya sangat lelah. Semalam hanya bisa tidur sejam. Aku sangat khawatir pada adikku Arini. Ia mengunci diri semalaman di kamar. Tidak makan malam pula. Selesai shalat, kulangkahkan kakiku ke kamarnya. Perlahan kuketuk pintunya, “Rin, sudah shalat subuh dik?”. Tak ada jawaban. Kuketuk lagi. Tak ada jawaban. Ahh…mungkin ia masih ingin sendiri dulu.
Pagi-pagi seperti biasa, sarapan sudah kusiapkan di atas meja. Kutengok pintu kamarnya, masih tertutup. Aku pun beranjak ke kamar, ingin mengambil tas kantor. Kudengar pintu kamarnya dibuka. Arini keluar dengan menarik travel bag dan menggendong ransel miliknya. “Mau ke mana dik?” tanyaku penasaran. “Arin mau pulang kak. Untuk sementara, Arin mau cuti dulu. Arin sudah menghubungi teman di kantor tuk ngurus surat cuti. Maaf atas kata-kataku kemarin yah kak. Terima kasih atas kebaikan kakak selama ini. Arin lelah, Arin ingin istirahat dulu kak. Dan sepertinya kampung halaman adalah tempat yang paling tepat buat Arin istirahat” katanya sambil tersenyum. Senyum itu…sangat jauh berbeda dengan senyum-senyumnya selama ini. Ahhhh….Arin. “Arin pamit dulu yah kak, jaga diri kakak baik-baik” katanya seraya memelukku. “Ia dik, jaga dirimu baik-baik yah. Salam buat bapak sama ibu di rumah”. “Iya kak, Arin pamit dulu. Assalamu’alaikum”.”Waalaikum salam warahmatullah, hati-hati dik”
Kini sudah hampir setahun ia pergi. Belakangan baru kutahu ternyata ia mengundurkan diri dari tempat kerjanya. Ahhhh…..adikku, sebegitu dalam kah luka hatimu hingga kau sulit untuk bangkit kembali?

Tolong ajari aku mengendalikan rindu
Yang meliar bagai perdu di padang hatiku
Cinta lama yang bertahun-tahun kutebas
Sepertinya selalu menolak meranggas
Akarnya yang keras menghujam terlalu dalam
Menembus dunia kelam tempat hasratku bersemayam

Tolong ajari aku menterjemahkan pahit

Yang perih menggigit tiap mataku menatap langit
Ke mana saja kupalingkan kepala
Ia selalu ada
Menyungkup semesta
Kucintai birunya dengan cinta paling purba
Kudamba jingga senjanya dengan rindu tanpa jeda
Sementara jarak tetap saja membentang panjang
Menggerus tahun-tahun lengang

Tolong ajari aku berhenti bermimpi

…kini
Sebab padang hatiku terlalu sunyi
Untuk kutinggali sendiri
Jemu menjamu sejoli pembunuh rindu
-jarak dan waktu-
Berharap mereka segera menerkamku
Dan mengakhiri kesia-siaan ini.

Ahhhhh…..luka lama itu kembali menganga……….aku lelah………

Ranah Minang, 21 Maret 2010
Indri


NB:  Ini cerpen pertama yang kutulis, so harap maklum saja kalau ceritanya maupun cara penulisannya kurang menarik hehehheee.... :p sebelumnya sudah pernah kuposting ke Kompasiana 
 

MyFreeCopyright.com Registered & Protected


Tidak ada komentar:

Posting Komentar