"Hanya dengan berbagi hidup akan terasa lebih berarti"

“Wahai manusia, janganlah sekali-kali merasa kesepian diatas jalan kebenaran hanya disebabkan sedikitnya orang yang berada disana. Sesungguhnya kebanyakan manusia telah berkumpul menghadapi hidangan yang hanya sebentar saja kenyangnya namun lama sekali laparnya" (Ali Bin Abi Thalib)

Sabtu, 19 Maret 2011

All About Life Part#1

Entah angin apa yang mengiringku hingga menulis catatan ini. Ada sesuatu yang sangat ingin aku bagi dengan kalian. Sesaat memang ada keraguan untuk menulis ini. Aku sadar aku bukanlah saudara sebaik yang kalian kira. Aku bukanlah saudara yang semulia yang kalian duga. Kalau kalian tahu borok yang ada dalam diriku, mungkin kalian akan membuang muka, menjauh dan tak sudi tuk mengakuiku sebagai saudara. Setiap kali memikirkan kemungkinan itu, hatiku bagai tersayat sembilu, perih, batinku terluka, hatiku menangis, air mataku tak akan berhenti mengalir. Sama seperti saat aku menulis catatan ini. Ada gemuruh hebat di ruang hatiku... Tapi entah pernah baca di mana atau dengar dari siapa, katanya nasehat yang mengandung hikmah dan kebaikan tetaplah akan terjaga kemurniannya sekalipun ia keluar dari bibir seorang yang hina. Karenanya kuberanikan diri tuk menulis ini untuk kalian.

Saudaraku, apakah di kepala kalian pernah terbesit pertanyaan tentang hakekat hidup??? Bila semua yang terjadi dalam hidup kita telah menjadi ketetapan-Nya, apakah itu berarti segala khilaf dan kesalahan yang pernah kita lakukan memang telah menjadi ketentuan-Nya??? Kalau memang demikian adanya, mengapa kita harus menanggung semua akibat dari kesalahan yang di luar kuasa kita??? Adilkah jika kita harus menerima hukuman atas kesalahan yang tidak bisa kita hindari karena semua telah menjadi ketetapan-Nya??? Kenapa Allah seringkali membiarkan kita tersesat??? Kenapa Dia selalu membiarkan kita terluka dan menderita??? Bukankah katanya Dia Maha Pengasih dan Penyayang??? Bukankah katanya Dia Maha Adil atas semua perkara juga urusan??? Apakah Dia pilih kasih terhadap hamba-Nya???

Pertanyaan-pertanyaan itu pernah terbesit di kepalaku. Pada satu waktu di mana aku merasa dunia ini tidak adil, orang-orang menyebutnya berada pada titik terendah, titik nadhir. Waktu di mana batrei ruhiyah semakin melemah. Terpaan angin ujian yang begitu kencang telah berhasil memadamkan api pada lilin yang kujadikan penerang jalan. Gelap…. Tak ada sedikit pun cahaya yang mampu menerangi jalan. Aku tersesat…. Hilang entah di mana. Ingin kembali namun tidak bisa, ingin maju tapi ku tak tahu arah. Aku berlari ke sana dan kemari, berteriak hingga suaraku serak. Dan akhirnya semua tenagaku seolah terkuras untuk sesuatu yang sama sekali tidak berguna, sesuatu yang sia-sia. Saat itulah semua pertanyaan-pertanyaan itu hadir secara acak di kepalaku. Di titik itu, aku telah menggugat DIA.

Ahhh….betapa angkuh dan naifnya aku. Aku yang hanya seorang hamba yang hina dan tak punya daya tanpa-Nya telah berani menggugat DIA. Aku bahkan telah salah memilih penerang jalan. Dulu aku berpikir, aku telah melakukan hal yang benar, jalan yang kulalui seolah-olah terang, namun ternyata aku salah. Nafsu dunia telah menggelapkan mata. Yah…. Nafsu dunia itu ibarat lilin yang menerangi. Ia memang memancarkan cahaya, tapi cahaya yang panas, ketika tangan kita dekatkan padanya, kita akan merasakan panas yang membakar. Ia juga tak mampu menahan deru angin yang kapan saja siap mematikan nyalanya, dan kalaupun bukan karena angin, ia akan tetap mati, perlahan tapi pasti ia akan habis meleleh karena nyalanya sendiri. Ia tak kekal, ia tak abadi. Terlalu naïf memilihnya sebagai penerang jalan hidup ini. Astagfirullah, ampuni hamba ya Rabb…

Saudaraku, setiap orang pasti pernah berada pada fase itu. Ada pesan yang sangat menarik dari sebuah buku yang pernah kubaca, bukunya Ust. Abu Ridha:
Sebelum semua lorong tak lagi memantulkan gema, sebelum kesia-siaan mengirim berjuta sesal, sebelum segala sesal menahtakan luka di batin, sebelum lukanya menjadi diam, diam menjadi azab, azab mengundang guntur, guntur memuntahkan amarah, amarah melepas anak panah, anak panah membidik sasaran, menggores luka dimana mana, luka dikepala, luka didadam luka di kaki, dan ini yang paling perih luka dihati, luka yang diam.
Ketika hawa nafsu membongkah menjadi badai, menyerbu dan menyapu apa saja, menjadi gelombang pasang, menerkam dan menenggelamkan apa saja, dan menjadi air bah, menyeret dan menghanyutkan apa saja, diam telah kehilangan maknanya, ketika diam berubah menjadi gayut kegelapan lalu jatuh menimpa atap atap bangungan moralitas, merobohkan sendi sendinya, membulodser asasnya, dan menimbun eksistensi kita dalam puing puing yang bisu, diam telah keluar dari konteksnya.  
Sekarang saatnya kita berangkat.
Sebab hari-hari menuju terminal akhir begitu cepat berlalu. Semestinya kita harus bergegas ke sana. Tidak hanyut dalam arus syahwat, tenggelam dalam kesenangan sesaat, dan tidak main-main supaya kita tidak terpelanting dari jalan-Nya yang menyebabkan kita terjerembab ke dalam lembah kepedihan yang abadi.
Saatnya kita berangkat,
Sebelum semua orang hanya bisa berlari tanpa henti dan terus berlari tanpa niat, tak mau berhenti meski sejenak lalu terkulai lunglai, meratap pada setiap orang yang lewat, “tolong antarkan kami pada tempat di mana kami tidak akan mampu lagi berlari”. Sebelum semua orang terbengong-bengong berdiri di ujung jalan dan beramai-ramai menjadi gagap walaupun untuk sekedar bertanya.
Sebelum segala sesal tak berguna. Sebelum bahasa diplomasi tak punya makna. Sebelum semua retorika kehilangan daya pesonanya. Sekarang saatnya kita tinggalkan semua realitas busuk itu sebelum membusuk jadi humus bagi pohon-pohon liar yang menyebarkan bermilyar-milyar parasit yang akan menghisap kualitas diri sehingga kemanusiaan mati meranggas. Sebelum kobaran hawa nafsu menyemburkan bara kemaksiatan yang bergulung-gulung membentuk badai azab yang mengamuk, menerjang dan menyapu bersih segala makna, yang menjadi nyala kebencian yang menghanguskan semua rasa cinta.
Saatnya kita berangkat,
Yah kita tidak boleh terlambat sebelum semua jalan menuju ke sana terputus dan semua pintu-pintu masuk terminal tertutup, sebelum semua tempat persinggahan tidak lagi menerima tamu, dan sebelum peluang untuk membukanya kembali telah tiada. Memohonlah kepada-Nya, sebab Dia-lah pemilik mutlak segala khazanah dan yang menguasai kunci-kuncinya. Dia adalah kausa produktif segala sesuatu. Dia-lah satu-satunya tujuan akhir segala sesuatu (al-muntaha). Dia adalah Zat yang segala persoalan berakhir kepada-Nya.
Saudaraku, kali ini cukup sampai di sini aku menuliskan ini untukmu. Sebenarnya masih banyak hal di kepalaku yang ingin aku sampaikan padamu. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kusebut tadi belum kuuraikan secara gamblang di sini. Juga tentang riak-riak kehidupan yang mungkin suatu saat juga akan kalian alami. Aku takut, engkau merasa jenuh membaca semua ini. Mungkin membaca catatan-catatan seperti ini akan terasa sangat membosankan buat kalian. Namun apa dayaku, jarak telah memisahkan kita. Takdir telah membawaku tuk menimba ilmu tentang hidup dan kehidupan di sini, di Ranah Minang ini. Alangkah baiknya jika kita bisa duduk bersama di beranda rumah sambil menikmati teh hangat dan kue-kue buatan ibu atau mungkin buatan kakak atau buatanku, sembari berbagi cerita, berbagi keluh dan kesah, bercanda dan tertawa bersama. Alangkah bahagianya bila bisa berada dekat dengan kalian semua…

To be continued….

Padang, 19 Maret 2011





MyFreeCopyright.com Registered & Protected

Tidak ada komentar:

Posting Komentar